KEPRITERKINI.COM – Pengembang properti (developer) Batam kini turut cemas dengan rencana penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam. Mereka memprediksi, implementasi KEK Batam akan berdampak kenaikan harga properti minimal 22 persen.
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Khusus Batam, Achyar Arfan, mengatakan penerapan KEK otomatis akan menghapus fasilitas Free Trade Zone (FTZ) yang selama ini turut dinikmati para pengembang. Misalnya fasilitas bebas pajak pertambahan nilai (PPn).
“Jika KEK diberlakukan, otomatis PPn di luar KEK dihapus. Penjualan properti dikenakan pajak tambahan 10 persen. Sehingga harga rumah pasti akan naik,” kata Achyar, seperti dilansir batamposcoid.
Achyar mengatakan, selama ini bahan material di Batam bebas PPn 10 persen. Begitu juga dengan penjualan properti, selama ini tidak dikenakan PPn sebesar 10 persen.
Jika nanti KEK Batam diberlakukan, maka otomatis fasilitas bebas PPn tersebut juga akan dicabut. Sebab KEK Batam rencananya akan diterapkan di titik-titik tertentu (enclave). Sehingga wilayah di luar KEK akan menjadi wilayah pabean.
Karenanya, Achyar berharap pemerintah tetap mempertahankan status FTZ Batam. Jika selama ini FTZ dinilai tidak berjalan sesuai harapan, menurut Achyar yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperbaikinya dengan menambah fasilitas dan insentif di dalamnya.
“Bukan malah mengganti dengan produk baru bernama KEK,” kata Achyar.
Pelaku bisnis properti yang juga anggota Komisi II DPRD Batam Hendra Asman sependapat jika rencana penerapan KEK di Batam harus dikaji ulang. Sebab wacana tersebut telah menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama pengusaha.
“Ini sangat bahaya kalau tidak segera diluruskan dan diselesaikan polemiknya,” ujar Hendra, kemarin.
Terpisah, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam Jadi Rajagukguk mengatakan, KEK memang tidak tepat diimplementasikan di Batam. Sebab sistem ini sudah pernah diberlakukan di Batam pada 2003 lalu, dan gagal.
“Jadi kalau pemerintah ingin kembali menerapkan KEK di Batam, berarti pemerintah melangkah ke belakang. Ini langkah mundur namanya,” kata Jadi.
Jadi mengajak semua pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk sama-sama berpikir solutif di tengah pro dan kontra rencana KEK Batam ini. Menurut Jadi, pemerintah daerah getol mendukung KEK Batam hanya untuk kepentingan memaksimalkan kewenangan mereka.
Padahal secara ekonomi, penerapan KEK Batam tidak akan banyak dinikmati oleh masyarakat. Sebab KEK diterapkan secara enclave, sehingga hanya perusahaan di dalam kawasan KEK yang akan mendapatkan fasilitas dan kemudahannya.
“Itupun tidak otomatis. Ada syarat dan ketentuan berlaku,” kata dia.
Sementara masyarakat, termasuk pengusaha, yang berada di luar KEK tidak akan merasakan dampak positifnya. Justru yang terjadi, masyarakat akan merasakan dampak negatifnya karena otomatis semua harga primer dan sekunder akan naik. Sebab jika KEK diberlakukan, maka otomatis wilayah di luar KEK akan menjadi wilayah pabean yang artinya akan dikenakan pajak.
Karenanya, Jadi meminta pemerintah daerah bijak dan melepaskan ego sektoralnya. Pemerintah, kata dia, juga harus realistis dan ikut mengedukasi masyarakat terkait kelebihan dan kekurangan dari penerapan KEK.
Ketua DPRD Batam Nuryanto mengatakan, pihaknya akan segera menyampaikan rekomendasi terkait KEK Batam dari hasil rapat dengan pengusaha dan Pemko Batam pada Selasa (22/5) lalu ke pemerintah pusat. Tiga rekomendasi itu antara lain, pengusaha Batam menolak KEK, meminta pemerintah pusat mempertahankan FTZ, dan meminta pemerintah pusat memperbaiki pelayanan publik dan perizinan.
Kata Nuryanto, suara pengusaha di Batam sudah bulat menolak KEK Batam. Sebab penerapan KEK otomatis akan menghapus fasilitas dan status FTZ di Batam.
“Ide awalnya menjadikan Batam FTZ Plus-Plus. Artinya ketika KEK sudah diberlakukan, FTZ-nya tidak hilang,” kata Nuryanto, Rabu (23/3).
Saat awal sosialisasi, pengusaha menyambut baik rencana KEK Batam. Namun setelah dikaji ulang, ternyata di undang-undang tidak ada menyebutkan daerah yang ditetapkan KEK, masih memiliki fasilitas FTZ.
“Ini yang saya terima dari pengusaha, artinya bahasa ini tak bisa dipertanggungjawabkan dan hanya membuat pengusaha resah,” tutur dia.
Status FTZ dan KEK, lanjut Nuryanto, adalah bentuk fasilitas yang diberikan pemerintah pusat. Memang yang punya wewenang adalah pemerintah pusat. Pemko dan BP Batam hanya sebagai pelaksana kebijakan tersebut. “Namun sebelum wacana ini diberlakukan, kiranya pemangku kepentingan solid dan duduk bersama. Kira-kira apa sih yang dibutuhkan Batam, sehingga apapun itu jadi keputusan bersama,” harapnya. (*)