Cendana dan Gaharu di Malaka, Wanginya Tinggal Cerita

Wangi gaharu dan cendana memantik bangsa Eropa menjejak Pulau Timor. Tapi, kini dua benda yang beraroma wangi dan harganya mahal itu cuma tinggal cerita di Malaka.

Cendana yang dijuluki king plant of plant parfume itu tumbuh di Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk Malaka yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan memiliki pintu keluar masuk resmi di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motamasin. Pohon cendana (Santalum album) diambil kayu dan minyak kemudian digunakan sebagai rempa-rempah, bahan dupa, aromaterapi, campuran parfum, dan sarung keris.

Gaharu juga tumbuh merata di NTT. Gaharu merupakan gumpalan padat berwarna coklat kehitaman yang memiliki aroma khusus saat dibakar. Gumpalan itu merupakan hasil infeksi oleh jamur dan telah melewati proses kimiawi di batang atau akar pohon tertentu, salah satunya grynops. Pohon inilah yang kemudian disebut sebagai gaharu.

Tapi, gaharu dan cendana itu tidak mudah ditemukan lagi di Pulau Timor. Harumnya tinggal kenangan sejak 1986.

Saat itu, terbit Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16/1986 yang mengatur tata niaga cendana. Dalam perda tersebut disebutkan pohon cendana yang tumbuh di pekarangan warga adalah milik pemerintah sehingga masyarakat dilarang menebang dan menjual cendana.

Perda itu juga menyebutkan, pemerintah berhak atas 80 persen hasil penjualan cendana dan 20 persen diberikan kepada warga.

Dalam prosesnya, Perda itu dicabut namun pohon cendana sudah terlanjur menghilang dari tanah Pulau Timor. Perda itu kemudian diganti dengan Perda nomor 2 Tahun 1999 yang memberikan porsi lebih besar kepada masyarakat yakni 80 persen pendapatan yang diperoleh dari penjualan cendana, dan 20 persen menjadi bagian pemerintah.

“Sudah sulit untuk menemukan cendana. Beberapa warga masih menanam, namun karena cendana termasuk tanaman dilindungi maka tidak bisa diperjualbelikan,” kata raja Likurai di Malaka, Dominicus Kloit Tey Seran, dalam wawancara dengan detikTravel dalam ekspedisi tapal batas detikcom yang didukung oleh BRI.

Raja Kloit menyebut saat ini tanah-tanah adat tidak lagi memiliki cendana dan grynops yang memiliki gaharu, namun ditanami kenari dan asam. Kloit beralasan tanaman itu memiliki risiko kecil diincar penebang liar dan bisa mengikat air lebih banyak.